Thanks Telkom!

Kringgg…kringgggg…kringggggg…(Suara telpon kabel berdering) 
“Duhhh,…siapa sih pagi-pagi begini nelpon. Ada-ada aja dehh” 
“Halooo, saya Sarah, ini dengan siapa ya??” 
“Halo…haloo…Sarah, ini Ibuk. Ibuk sudah sampai stasiun ini.” 
“Oh, Ibuk…ya Buk..stasiun pundi Buk??” 
“Tolong jemput Ibuk ya, Nduk. Ibu gek ae teko ki. Petuk ning Jatinegara ae, Nduk. Ibu ra rti dalan, Nduk. Ibuk karo Bapak.” 
“Nggih Buk. Siap. Sarah kalian Mas Bayu segera kesana Buk. Ibuk lan Bapak tunggu dulu di stasiun ya. Lima belas menit lagi sampai Buk.” 
“Ya Nduk, ati-ati ning dalan. Ojo lali nganggo jaket. Adem saiki hawane.” “Nggih Buk. Siap”
Sepenggal cerita fiktif diatas adalah gambaran mengenai kehidupan beberapa tahun lampau. Mungkin era 90-an. Era dimana komunikasi masih menggunakan telepon kabel. Telepon dengan kabel sebagai penghubung antar jalur telepon tersebut.

Sepenggal cerita diatas, mereka (ibu dan anak) berkomunikasi menggunakan telepon kabel. Sang Ibu menggunakan telepon umum yang cara membayarnya adalah dengan menggunakan koin. Sang anak menggunakan telepon rumah. Sang Ibu meminta sang anak untuk menjemputnya di stasiun. 

Telepon umum yang sudah tak terpakai
Telepon umum yang sudah tak terpakai.
Sepenggal cerita diatas hanyalah salah satu contoh realita kehidupan di era 90-an (mungkin bisa lebih ke atas lagi). Era dimana komunikasi masih menggunakan telepon kabel. Era dimana yang namanya kuota internet, whatsapp, line, bahkan sms belum ada. Era dimana sedang berjayanya telepon kabel dan surat menyurat. Ketika itu, TELKOM sedang menikmati kedigdayaannya, kejayaannya. Ya, TELKOM. Perusahaan milik negara yang mengatur, menyediakan sarana telekomunikasi tersebut (terutama telepon kabel). Telepon umum marak dimana-mana: di  stasiun, terminal, halte, telepon umum hadir. Kabel telepon ‘dijembrengin’ dimana-mana: di perumahan, perkantoran, tempat publik.

Jaman itu pun berlalu. Waktu terus maju. Teknologi pun demikian. Semakin maju. Muncul pager, faksimili, telepon genggam dengan memanfaatkan gelombang yang dipancarkan di udara, sms, dan yang terakhir adalah internet. Internet dengan bermacam teknologinya. Mulai dari EDGE, 3G, 4G, 5G (mbuh lah,..gak mudeng dengan sejarah teknologi komunikasi tersebut..hhehe). Telepon kabel perlahan terganti, berganti,dan mengganti. Terganti oleh teknologi baru, berganti teknologi sehingga menyesuaikan dengan teknologi yang baru, dan mengganti beberapa komponen teknologi lama menjadi teknologi baru.

Kawan saya sedang menelepon menggunakan smartphone
Kawan saya sedang menelepon menggunakan smartphone.

TELKOM, selaku perusahaan yang bermain di lini bisnis beginian (beginian tuh maksudnya telekomunikasi) seiring berubahnya waktu dan teknologi, perlahan namun pasti mendapat pesaing. Ya, namanya juga usaha. Pasti ada saja pesaing dan persaingan (Note: Tak selamanya pesaing dan persaingan itu buruk, namun tak selamanya pula pesaing dan persaingan itu baik. Nah bingung kan). TELKOM terus berbenah, baik dari sisi teknologi maupun yang lainnya. TELKOM merambah lini bisnis baru, TELKOM pun menambah produknya seperti YES TV (sekarang mungkin Indihome). TELKOM pun mengubah logo perusahaannya menjadi lebih kekinian (emang bagaimana sih kekinian itu?). Banyak strategi yang dijalankan oleh TELKOM untuk menghadapi pesaing dan persaingan yang semakin banyak, agresif, atraktif, komunikatif, aktif, reaktif, dan tif tif yang lain.

**Note: saya hanya mengamati TELKOM dari luar, saya bukan pegawai TELKOM. So, opini saya terkait TELKOM bisa saja dikoreksi dan mungkin harus dikoreksi.

Baiklah, cerita berganti.

Hari itu Ahad, 24 Februari 2019. Saya mengikuti acara yang diselenggarakan oleh The Ribets Foundation. Acara tersebut bernama ka:ef:tji. Poster acara bisa dilihat di sini. Saya tidak akan cerita mengenai acara tersebut, karena ulasan singkat ada pada poster yang saya tunjukkan linknya diatas. Oke lanjut. Di hari itu, kami mengelilingi kota Bogor (tidak seluruh kota Bogor sih kami kelilingi). Kami merekam (ini bahasa saya, mungkin bisa diganti dengan memotret, menjepret, mendokumentasikan) apa-apa yang menarik mengenai kota Bogor. Acara dimulai secara riil jam setengah delapan pagi dengan start awal di Stasiun Bogor. Cuaca cerah, tanpa mendung sedikit pun pagi itu. Acara berjalan, langkah demi langkah. Hingga sampailah saya pada sebuah objek berbentuk kotak dengan logo TELKOM lama yang khas, lingkaran gradasi biru tua – biru muda dengan garis-garis membelah lingkaran ditambah dengan tulisan TELKOM berwarna biru tua. Ya, itu logo TELKOM lama. But, what…apa benda itu? Apa kotak itu? Menurut saya, kotak lusuh itu adalah suatu alat yang diperlukan dalam telepon kabel. Mbuh opo alat itu. Jika ada yang tahu, bisa beritahu saya ya. Saya pun mengeluarkan smartphone, membuka aplikasi camera, sejurus kemudian menjepret objek tersebut.

Kotak dengan logo lama TELKOM
Kotak dengan logo lama TELKOM

Ya, objek tersebut masih saya temui di Bogor. Bogor memang eksotik. Nah, mengapa saya merekam kotak tersebut? Why? Apa istimewanya?

Buat saya, merekam kotak tersebut merupakan suatu ungkapan terima kasih saya pada TELKOM.

Terima kasih karena telah memfasilitasi saya ketika SD. Memfasilitasi saya untuk berkomunikasi dengan orang rumah, mengabarkan orang rumah untuk menjemput saya di SD.

Terima kasih karena telah memfasilitasi keluarga saya dalam berkomunikasi. Komunikasi antara Eyang Kakung saya di Temanggung sana dengan Bapak saya di rumah. Komunikasi keluarga yang hangat melalui telepon kabel.

Terima kasih karena telah memfasilitasi pembantu di rumah yang sering berkomunikasi dengan orang tak dikenal sehingga terjadilah percakapan-percakapan impian kosong antara pembantu saya dengan orang tak dikenal tersebut. Tingginya intensitas percakapan tersebut membuat tagihan telepon keluarga kami membengkak sehingga menyebabkan pembantu Ibu saya tersebut di SP 1 kan. Semoga hal tersebut dapat menjadi pelajaran bagi pembantu Ibu saya tersebut. Aamiin.

Romantisme masa laluku menyeruak setelah saya merekam kotak tersebut. Bahkan hingga proses penulisan postingan ini. Romantisme masa lalu yang tak akan terulang.

Thanks, TELKOM!


Tulisan ini saya salin dari blog lama saya: https://matamooto.wordpress.com/





Komentar